Teruntuk Kaum Rebahan Usia Awal 20...


Belakangan ini setelah anjuran swakarantina digencarkan pemerintah, sekolah dan kampus diliburkan, bekerja dan beribadah diimbau untuk dilakukan di rumah saja... Generasi "Rebahan" yang tadinya dengan mendengar frasa itu udah bikin saya gemes-gemes sedep, makin tenar lah.

Meskipun channel dan lingkungan saya rerata adalah kelas pekerja dalam usia produktif (baca: udah tua juga si) saya masih punya adek dan kenalan lain yang usianya di awal 20-an. Fresh Graduate, usia awal bekerja, dan biasanya masi menikmati euforia udah ga sekolah lagi atau nyicipin gaji-gaji pertama kerja yang larinya ke kopi susu atau boba.

Ga ada yang salah, memang. Hak-hak mereka.

Kalau saya boleh kasi nasehat... Dek adek, misal dikasi satu kesempatan lagi to turn back time, di usia kamu saya akan fokus nambah skill dan networking. Percayalah sama mamak-mamak ini.

Saya bersyukur punya temen-temen deket yang menginspirasi, bisa saya bilang apa yang mereka pilih itu sedikit banyak mempengaruhi pilihan saya juga usia segitu. Saya punya teman SMA, namanya Nanda. Kelas 3 SMA Nanda bimbel rajin banget, akhirnya keterima di UI, lulus kuliah langsung kerja di lawfirm dan di akhir pekan dia ambil kelas Bahasa Perancis. Kini Nanda bisa ngomong casciscus Bahasa Perancis dan tinggal di Geneva.

Saya punya teman namanya Rayi. Lulus kuliah langsung kerja di retail fashion, sampai sekarang karirnya di fashion retail stabil terus, dan bisa liburan di sela-sela waktu pake duit sendiri dan belajar Bahasa Jerman juga snorkeling.

Banyak teman-teman saya lainnya yang saya temui di perjalanan sampe sekarang berumur di akhir 20-an ini yang menginspirasi. Ada yang membawahi puluhan pegawai dengan perusahaan yang bernilai miliaran, ada yang udah diundang jadi konsultan dan pembicara untuk Pertamina dan keliling Indonesia, ada yang desain pakaiannya udah dipake sama selebriti tanah air, sampai ada yang bisnis furniturnya laku banget di Eropa dan hampir ga pernah stay di Indonesia.

Semua dari mereka usianya di 20-30 tahun.

Yang membedakan mereka dari yang lain adalah, saat yang lain masih sibuk mencari jati diri mereka udah tau apa yang dimau dan selalu berusaha meng-upgrade skill apapun itu yang akan membantu mereka mencapai keinginannya. Apakah itu termasuk rebahan scrolling social media sampe abis kuota? Saya rasa sih engga.

Beberapa kali kalau ngobrolin ini sama orang lain selalu keluar kalimat seperti "Ya ga semua orang punya privilese, Tan... yang kamu ceritakan pasti punya support system yang mumpuni dan ekonomi yang mapan."

Ta ceritani yo cah. Bojoku dewe. Mas Haf lahir di keluarga sederhana di Kota Banjarnegara dari Mama yang single parent karena Bapak Mas meninggal waktu Mas SMP. Umur 19 tahun Mas keluar dari rumah dan rantau ke Solo, selama itu pula kebutuhan hidupnya dia penuhi sendiri, pernah makan tempura di Banyumas belakang kampus sepiring berdua temannya. Aktif ikut klub fotografi dan lomba, sampe akhirnya kerja di NG Indonesia dan sekarang jadi pegawai kantoran, disekolahin perusahaan sampe Swedia.

Dibandingkan aku yang ga harus pusing mau makan apa, minta kamera langsung dibeliin, Mas menggunakan semua willpower-nya untuk mengembangkan diri.

Makanya ga ada tuh alasan soal privilese, kalo pembandingnya adalah dikadik yang masi bisa akses sosial media 24/7. Kalian bisa loh sebenernya belajar bahasa lain gratis, via youtube. Ada skillshare juga yang beberapa kelasnya gratis dan bisa diakses. Hampir semua hal sekarang bisa dipelajari, cuma di ujung jari.

Saya pernah di umuran kalian makanya saya bisa kasi nasehat macem gini. Nanti kalau kalian udah punya keluarga, punya anak terutama, hal-hal seperti ini bikin lebih banyak lagi pertimbangan untuk di-juggle. Mau ikut kelas online harus kondisikan si kecil dulu, mau nulis blog mesti nunggu si kecil tidur, dsb.

Makanya, mumpung satu-satunya penghalang antara kalian dengan jadi-tambah-pintar-dan-berwawasan-luas adalah rasa malas, ayo dilawan dan kejar terus upgrade dirimu.


Comments

Popular Posts