The One When I Speak Up...
Halo teman-teman.
LAMA SEKALI tidak jumpa hahaha.
Sudah delapan bulan sejak postingan blog terakhir saya. Maafkan atas ketidakproduktifan menulis ini yang sungguh-sungguh tidak bisa dibanggakan. Beberapa bulan terakhir memang sangat disibukkan dengan urusan pabrik keluarga yang sejak Januari tahun ini dipasrahkan ke saya, tentunya dengan struggle menulis sebagai copywriter di Rumah Atsiri Indonesia dan Jelujur serta kewajiban jadi ibu yang banyak menyita waktu...
Agustus tahun lalu saya juga sempat apply lagi untuk beasiswa sekolah di Inggis. Surat pengumuman diterima atau Letter of Acceptance dari tiga universitas berbeda sudah saya pegang. Ini tahun kedua saya apply setlah tahun lalu sempat longlisted namun gagal lanjut. Januari kemarin pengumumannya keluar, dan saya ternyata belum beruntung lagi. Mungkin memang diminta untuk fokus dulu di Indonesia sebelum bisa ditinggal-tinggal ke luar...
Akhir tahun lalu sesungguhnya adalah bulan-bulan yang berat untuk saya, terutama tiga bulan terakhir. Saya akan mulai bercerita, mungkin panjang, dan ini sangat personal. Makanya saya bikin judul seperti di atas hahaha. So kalo mau baca boleh banget, tapi saya udah kasitau ya, mungkin panjang... semoga kalau sudah dibaca yang atas, bisa dibaca semua juga biar ga setengah-setengah.
Kita mulai.
Awal Bulan Oktober tahun lalu saya merasakan perubahan yang sangat signifikan di tubuh saya, terutama soal tenaga. Malam hari saya tidur cukup panjang untuk ukuran orang dewasa - bisa sampai sepuluh jam. Namun, setelah bangun tidur, bukannya segar saya justru merasa sangat lemas. Hal ini berlangsung hingga sore pukul 15.00 hingga 16.00 yang menjadi masa 'puncak' kehabisan energi: saya cuma bisa tiduran di kasur, main HP, merasa sangat kalut dengan kondisi ini.
Sekitar dua minggu seperti itu, yang mana saya kira hanya kelelahan. Kebetulan waktu itu saya sedang bersiap-siap juga untuk apply beasiswa, sedang bersiap-siap untuk Jelujur Slow Fashion Fest, dan ga kepikiran sama sekali ini akan dipengaruhi oleh tiroid saya, karena dua bulan sebelumnya saya baru saja kontrol operasi tumor dengan dr. Urip di Surabaya. Saat itu beliau bilang kondisi bekas operasi saya baik dan saya diberi resep vitamin seperti biasa. Namun beliau sudah mewanti-wanti untuk tetap menjaga pikiran dan jangan sampai kelelahan. Makanya saya juga dengan berat hati memutuskan untuk mundur sebagai PR Executive di salah satu komunitas lingkungan di Indonesia karena sudah ga bisa lagi membagi tenaga untuk banyak hal di Bulan Agustus.
Kembali lagi ke tengah Bulan Oktober.
Setelah dua minggu mengalami kelelahan luar biasa ini, saya peri ke dokter penyakit dalam di Solo. Semua berkas-berkas operasi tiroid, hasil USG, biopsi, tes darah setahun sebelumnya saya bawa semua, hingga hasil patologi anatomi tumor dari RS di Surabaya. Setelah mendengarkan keluhan saya, dokter bertanya:
- Apakah saya merasa letih sepanjang hari? YA
- Apakah saya merasa kulit menjadi lebih kering? YA
- Apakah berat badan saya bertambah? YA - ini tidak biasa karena meskipun makan banyak saya biasanya hanya naik 1-2kg, namun sekarang bisa 5 kg.
- Apakah saya mengalami perubahan emosi dengan cepat? YA
- Apakah saya merasa mengalami kelambatan dalam berpikir atau jadi pelupa? YA
Setelah itu saya diminta tes darah, lebih tepatnya Ft3 dan Ft4 untuk memeriksa kadar tiroid saya. Ambil darah langsung dan hasilnya keluar dalam lima jam.
Sorenya saya kembali ke Rumah Sakit dan dokter mendiagnosa saya dengan HIPOTIROID. Suatu keadaan di mana hormon tiroid saya berada di bawah ambang normal, yang berpengaruh sekali pada banyak hal di tubuh terutama metabolisme secara keseluruhan dan juga fertilitas atau kesuburan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh hemithyroidectomy atau pengangkatan sebagian kalenjar tiroid saya karena tumor, setahun sebelumnya.
Dokter mengingatkan kalau gangguan ini mungkin akan saya alami seumur hidup, karena kalenjar tidak bisa lagi memproduksi hormon. Bukan karena autoimun, bukan karena ada kanker, namun secara fisiologis kalenjarnya yang sudah ga lengkap.
Saya kemudian diresepi tablet authyrox 50 mcg yang harus diminum setiap hari, jangan sampai bolong, selama yang diperlukan. Pengobatan hipotiroid ini bertahap ya, dokter akan mulai dari dosis yang dirasa cukup, nanti bisa berkurang atau bertambah sesuai kondisi dan perkembangan pasien.
Awalnya saya merasa sedih, sedih sekali. Saya orang yang sebisa mungkin menghindari limitasi seperti: Ga bisa gini kalo ga gitu, Ga mau gini kalo ga gitu. Namun saya seperti ditampar dengan kenyataan kalau saya mungkin tidak bisa beraktivitas normal kalo lupa minum euthyrox setiap hari.
Setelah diresepi obat selama sebulan, saya mulai mengalami perubahan ke arah lebih baik. Tenaga sudah ada sedikit, dan konsentrasi sudah kembali meski belum penuh. Sebulan kemudian saya pindah dokter, kali ini ke dokter spesialis penyakit dalam endokrinologi atau yang khusus tentang hormon. Dokter saya yang kedua ini sangat komunikatif dan terbuka tentang apapun pertanyaan saya. Tentunya saya dites darah lagi dan hasilnya beliau evaluasi.
Meski sudah ada peningkatan hormon (dari obat yang saya minum), ternyata belum masuk ke ambang normal agar saya bisa merasa bugar. Dokter akhirnya memutuskan agar dosis saya menjadi 100 mcg sehari dan tambahan vitamin D (rata-rata pengidap hipotiroid memang mengalami defisiensi atau kekurangan vitamin D).
Sekitar dua bulan menjalani pengobatan ini, saya mulai merasa sedikit lebih baik. Bayangkan saat hormon drop sejadi-jadinya sebelum periksa, saya kesulitan berbicara. Di kepala ada yang mau saya katakan namun saya kesusahan menemukan 'kata' nya untuk menyampaikan ke orang lain. Hal ini membuat saya sangat frustasi, kerjaan saya adalah menulis! Menulis untuk tiga merek sekaligus: bagaimana kalau penulis ga bisa menemukan kata yang dimaksud? Pelupa-nya juga tidak bisa ditolerir lagi sampai-sampai saya harus memberitahu rekan kerja saya: tolong, saya akan mudah sekali lupa setelah ini. Tolong di-follow up terus.
Dengan segala kemunduran ini, dan tubuh yang masih beradaptasi dengan naik turunnya hormon, saya mengalami gangguan lain: Saya depresi.
Puncaknya adalah di pertengahan bulan Desember. Kala itu saya bisa menangis tiba-tiba, berbicara sendiri di mobil, menyetir dengan kecepatan tinggi, dan selalu diliputi perasaan menyesal, sedih, yang kuat. Tanpa banyak pertimbangan saya pergi ke dokter spesialis penyakit jiwa di RS tempat saya pertama periksa di Solo.
Pertama kali menunggu di ruang tunggu, saya gugup minta ampun. Apa yang akan terjadi? Bagaimana cara kerjanya nanti? Bagaimana kalau saya di-judge yang tidak-tidak? dst. Sekitar 15 menit menunggu, saya dipanggil masuk.
Psikiater saya ini adalah dokter senior usia 60-an. Beliau mulai dengan menanyai tentang latar belakang saya, kesibukan saya. Saya menemukan kenyamanan bercerita karena psikiater saya hampir tidak pernah menyela dan air mukanya netral sekali (HAHA) hingga mengalir lah semua hal yang saya rasakan selama ini: kesedihan, kekecewaan, kekuatiran. Selama dua jam penuh berada di ruang praktek beliau, saya nangis sejadi-jadinya.
Saya sampaikan bahwa baru dua bulan belakangan ini saya didiagnosa dengan hipotiroid. Psikiater saya bilang ini adalah dua hal yang sangat berhubungan. Bayangkan hormon yang tidak stabil dapat mempengaruhi emosi dan perasaan hati dengan cara yang sangat signifikan. Kita perempuan mengalaminya hampir setiap bulan saat PMS (Pra Menstruasi Sindrom), setelah melahirkan, selama mengandung. Dan saya mengalaminya setiap hari, tentu hipotiroid dan depresi ini berhubungan sekali.
Psikoterapi kompleks saya siang itu sangat membantu saya mengurai benang kusut. Dokter mendiagnosa saya terkena depresi sedang, dan meresepkan beberapa obat-obatan untuk saya konsumsi selama 15 hari, terutama untuk menstabilkan emosi berlebih yang saya rasakan.
Bulan depannya, saya sudah tidak butuh obat-obatan lagi, hanya psikoterapi kompleks dan itu sudah cukup. Ternyata saya hanya butuh didengarkan saja dan belajar mengatur ekspektasi, belajar lebih berkesadaran dan meningkatkan spiritualitas saya. Pada psikoterapi yang kedua, saya membawa serta suami atas anjuran dokter. Suami saya yang sebelumnya sangat skeptikal dengan hal-hal seperti ini mulai terbuka pandangannya dan membantu saya menghadapi masa-masa depresi ini.
Bulan-bulan berikutnya saya mulai merasa lebih baik. Sudah tidak pernah nangis-nangis lagi, produktivitas sudah kembali seperti semula, emosi juga sudah bisa saya atur. Rutinitas pagi saya bertambah setelah bangun tidur dan minum hormon tambahan (harus diminum dalam kondisi perut kosong, dan baru boleh diisi dua jam kemudian), saya bisa sembahyang, meditasi, olahraga ringan dan melakukan dry-brushing baru sarapan, mandi dan beraktivitas. Kondisi saya jauuuh lebih baik dibandingkan Bulan Oktober-Desember yang lalu. Saya bertekad lepas dari hormon tambahan, dan mulai banyak baca-baca buku tentang tyroid termasuk "Adrenal Thyroid Revolution" karya dr. Aviva Romm yang isinya saya terapkan sehari-hari. Peningkatannya ke arah lebih baik nyata dan signifikan, saya bersyukur sekali atas itu.
Kini tiga bulan setelah terakhir kali saya menemui psikiater, dunia sedang berduka dengan wabah covid-19. Perekonomian terimbas, terutama bisnis saya. Hampir setiap hari saya pergi tidur merasa seperti alert ini selalu ON, hingga beberapa hari lalu saya putuskan untuk melakukan digital detox lagi.
Ini saat yang pas untuk berbagi, saya putuskan untuk menceritakan tentang 'kondisi' saya ke teman-teman semuanya. Awalnya saya ragu karena penderita gangguan mental masih memiliki stigma negatif di masyarakat umum, pikirnya kalau gangguan mental berarti orangnya ga kuat, ga rajin beribadah, kurang bersyukur, gila, dst. Padahal ini dua hal yang berbeda. Saya juga kuatir jika ini akan mempengaruhi judgement orang-orang ke saya, yang juga wired dengan berbagai brand tempat saya mencari rezeki.
Namun kini keraguan saya telah saya buang jauh-jauh. Gangguan hormon, gangguan mental, harus bisa dibicarakan dengan sehat dan terbuka. Ini bukan aib. Sama seperti niat saya berbagi sejak 2009 saya memulai blog ini: agar semuanya bisa saya diskusikan dan saya bahas dengan teman-teman semua.
Perhatikan terus tubuhmu, perhatikan jiwamu. Jangan sampai kecolongan, dan jaga terus kesehatannya dengan memperhatikan apapun yang masuk ke tubuh kita: makanan, minuman, produk kecantikan, INFORMASI. Beri jarak pada hal-hal yang kurang perlu. Berani katakan tidak untuk hal-hal tertentu.
Semoga semua makhluk selalu berbahagia. Semoga wabah corona ini cepat mereda.
Salam Sayang,
Tania
*tulisan ini dibuat setelah sebulan penuh lamanya ga ngajak anak wedok pergi keluar karena pembatasan dari pemerintah. Hari Raya dan Bulan Puasa tinggal dua minggu lagi, suami sudah tidak bisa seenak hati pulang ke Solo. Keadaannya berat, makanya saya butuh terapi lewat menulis :p
Comments
Post a Comment