Uneg-uneg Saya Kepada Sesebapak Psikolog


Foto pohon dan langit Malmo. Btw tahu kan airvisual yang lagi rame dijadikan rujukan tingkat polusi udara itu?? Berdasarkan website mereka, Malmo poinnya cuma 16 alias Good, while Solo 70 alias Moderate! 


Ini bukan postingan tentang kualitas udara. Saya pilih foto di atas karena kehabisan stok foto, lol.

Sebuah postingan nongol di explore tab saya beberapa hari yang lalu, isinya adalah jadwal kelas dari seorang psikolog/ motivator/ penjaja kata-kata dan nasehat manis di Instagram. Beliau ini dulu pernah saya ikuti di instagram, namun setelah membaca beberapa postingan yang bikin dahi mengernyit, saya mengambil kesimpulan kalo lama-lama saya bakalan cuma akan emosi karena lebih sering ada ketidaksetujuan terhadap konten yang beliau buat.

Jadi begini...

Ada tiga hal yang membuat saya tidak mengidolakan beliau, sejauh yang saya ingat.

1. Himbauan Untuk "Jangan Pernah LDR-an Setelah Menikah"

Sanak saya pernah sekali menunjukkan secara terang-terangan ketidaksukaannya atas ide saya untuk stay di Solo sedangkan suami di Surabaya. "Laki-laki tu tetep bakal nakal lho, yang ngomong ini laki-laki sendiri," waktu itu saya bertanya-tanya siapakah yang dimaksud, namun setelah melihat kalau yts follow si psikolog ini, saya menemukan titik cerah X')

Beberapa pasangan suami-istri mungkin memprioritaskan nilai yang berbeda dalam rumah tangga mereka. Kebetulan, saya dan suami, keduanya tidak melihat ada masalah saat kami hidup terpisah, selama satu sama lain masih menjaga prinsip yang kami bangun bersama dan menjalani suatu hal yang memberikan kepuasan sebagai bentuk aktualisasi diri. Minusnya, hal itu hanya bisa dicapai kalau aku di sini dan kau di sana, lalu di mana salahnya?

Jauh-jauhan dan perselingkuhan itu menurut saya hubungannya bukan kausatif. Banyak orang yang tinggal berjauhan tapi fine-fine aja puluhan tahun menikah. Ada suami yang selalu dikintili istrinya, tapi juga bisa menemukan celah untuk nakal.

"Tapi kan banyakan kasus jauh-jauhan terus suami punya istri lagi! Ati-ati lho kena omongan sendiri!"

Intinya ya kalau brengsek, brengsek aja. Jangan salahin jarak. Kalau besok suami atau saya begitu, ya salah kami sendiri, jangan salahin jarak.

Terus gimana, dong, kalau nikah sama tentara misalnya? Kalau suami atau istrinya sekolah lagi di Eropa sana? Bakal ditinggal berbulan-bulan untuk dinas? Terus gimana dong, kalau misalnya, istri harus ikut suami kemana-mana, tapi dia ga mengikuti 'konsep ideal' seorang istri yang diharapkan masyarakat sekarang ini dan merasa ga betah jadi ibu RT? Apa ya bakal compromise terus.

Ya sekali lagi ini sih masalah kompromi, dan beda-beda di setiap pernikahan. Jangan dijustifikasi.


2. Boikot acara TV yang tidak berkualitas

Nah ini kekonyolan yang lain lagi dan lebih kompleks bukan main daripada cuma sekedar pemboikotan. Argumen beliau adalah acara TV yang sekarang itu udah keluar dari marwah sebuah kanal TV Indonesia yang seharusnya berperan dalam "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan bisa berpengaruh kepada pengembangan karakter anak yang mengakses TV.

Begini, teman-teman. Sebagai seorang Ibu saya setuju bahwa input apapun yang masuk ke anak itu berpotensi untuk diproses dan kemudian tertinggal sebagian di diri anak, entah itu baik atau buruk.


Masalahnya adalah, input itu, selama anak belum punya consent atas dirinya, fungsi filtering atau penyaringan kuncinya ada di orangtua si anak. Lha terus kalau orangtua kasih tayangan yang ga baik, sampe anak bisa akses, masa yang disalahin yang punya acara TV??


Kalaupun anak udah cukup umur untuk nonton sendiri dan Anda masih was-was akankah itu berpengaruh buruk sama dia, ya ajak diskusi. Beri bekal cara berpikir kritis yang baik, sehingga dia bisa kontemplasi sendiri sama apapun yang dia lihat: boleh dicontoh enggak? Baik ga? Kalo aku lakukan bakal gimana, ya?

Lha tugas mendidik anak supaya kritis itu di tangan orangtua, bukan di tangan Hary Tanoe.

"Tapi kan, ga semua orang punya cukup waktu untuk mengawasi anaknya dan cukup akses untuk cari tontonan lain yang lebih bermanfaat" Be creative! Ada banyak banget cara. Sekarang ada YouTube Kids. Ortu bisa unduh video dokumenter di Youtube lalu simpan di flashdisk, sewaktu-waktu anak mau nonton. Kita bisa pake Kindle sebagai mesin pencarian, sehingga anak-anak ga bakal akses konten dewasa yang buruk. Ajak anak diskusi, diskusi, diskusi. Tanyakan pendapat mereka. Paling engga butuh 15 menit sehari, masa tetep ga ada waktu, sih?

Lagipula ya urusan boikot itu ga segampang itu. Tarohlah acara becandaan unfaedah di TV ditiadakan, lalu diganti dokumenter, misalnya. Apa audiencenya puas? Pasar seceruk itu, apakah tetep mendapat rating tinggi? Kalo rating anjlok, produk industri dan brand males beriklan. Sedangkan kanal TV itu idup dari iklan. Apa yang main boikot itu janji bakal akses tayangan yang ada sebagai pengganti tayangan unfaedah itu? Kalau kanal itu bangkrut, mo dikemanain nasib ratusan pekerja yang bernaung di bawah mereka?

Kalau saya sih, males. Mending saya biarin aja, sampai suatu saat pasar teredukasi pelan-pelan dan seleranya shifted ke yang lebih berkualitas. Tentu dengan edukasi semua pihak juga. Tapi maksud saya ini bukan suatu hal yang linier, gitu lho. Tayangan bagus -> Moral bagus. Gak gitu, ini shared responsibilities.  Datang dengan ide boikot juga harus dateng dengan pemikiran yang dielaborasi dengan komplit, solusi yang konkrit, dan massa yang loyal dan ga pelit.

Begitu opini saya.

3. Ikut 'nyinyirin' Sesembak TMT

Nah yang terakhir ini saya ga abis pikir. Beliau bisa-bisanya ikutan komen tentang kasus temen-makan-temen yang viral waktu si sesembak kawin di Jepang. Waduh, kata Saya. Apa kenal tho beliau, kok sampe bisa-bisanya ikutan komen?

"Tapi kan, komentar itu hak semua warga negara! Lagian, kalo jadi publik figur harus siap dong dengan konsekuensi dinyinyirin!"

Tenang, tenang Ibu-ibu. Saya ya setuju lah bagian itu. Tapi menurut saya, beliau ini kurang bijak kalo harus ikut-ikutan nyinyir. Berandai semisal itu benar dan ngajak audiencenya untuk memetik pelajaran dari kasus itu sih, ga salah. Tapi terus ikut mojok-mojokin? Ya mumet no saya.

Makanya saya bilang, masa mau kita ikut terapi luka batin dan meraih kebahagiaan yang diisi oleh orang yang hobi provokasi, tidak mencintai kedamaian, dan bikin parno.

Kalo saya sih, ogah. Ndak bikin hepi blas.

Comments

Popular Posts