My Thoughts on Being Called SJW...
Seorang teman suatu hari setelah pemilu dilaksanakan pernah setengah menasehati-setengah jengkel ke saya saat kami ketemu langsung. Menurut dia, kenapa sih orang-orang harus ngobrolin politik di sosial media, padahal seharusnya sosial media itujadi tempat untuk membagikan hal-hal yang indah-indah dan baik-baik saja.
Saya bisa memaklumi kegelisahan beliau. Sama seperti saya coba merangkai kata-kata agar beliau tidak tersinggung, karena jelas sekali posisinya kami memprioritaskan dua nilai yang sangat berbeda.
Manurut saya, setiap orang yang ada di bawah kekuasaan, punya hak dan kewajiban yang sama untuk melek dan melaksanakan diskusi politik, because if you haven't know, my friend, we are on it together. Tapi masing-masing orang punya porsi, kapasitas, dan minat yang berbeda-beda sesuai perannya masing-masing. Ada yang memang tidak menaruh interest sama sekali di politik, ada yang setengah-setengah seperti saya, dan ada yang going full body untuk itu. Bottom line-nya adalah, ini dinamikanya. Pasti terjadi, dan kita ga bisa mengatur akan jadi seperti apa atau melakukan apa orang lain nantinya. Yang jelas, diskusi itu perlu, biar ada informasi yang tertukar, insight yang didapat, dan konflik sehat yang dibangun.
Di situ saya dapet panggilan 'SJW politik' haha
SJW, atau Social Justice Warrior, atau pejuang keadilan sosial, awalnya berkonotasi positif, namun kelamaan menjadi istilah peyoratif untuk orang-orang yang memiliki pandangan progresivisme sosial termasuk ke femisme, hak sipi, multikulturalisme, dan politik identitas (WikiPedia).
Nah di media sosial sekarang, selain ada label 'SJW' yang feminis, menyuarakan kaum terpinggirkan, memperjuangkan keadilan untuk rakyat prasejahtera, istilah ini dengan kreatifnya jadi beragam: SJW lingkungan, SJW sedotan, SJW plastik, SJW blablabla tergantung apa aja yang coba mereka suarakan padahal mungkin berguna juga dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sudah sekitar dua tahun terakhir ini saya dekat dengan isu sustainable living atau hidup berkelanjutan. Sejak saat itu pula, seperti orang-orang yang menggunakan sosial media sebagai tempat bersuara, saya membagikannya ke teman-teman yang tentunya mengikuti saya. Anjuran untuk mengurangi barang sekali pakai, memilah sampah, membawa tas belanja sendiri, kurangi plastik. Sebenernya semua itu saya bagikan dengan harapan agar teman-teman bisa punya alternatif lain dalam menjalani hidup yang lebih ramah lingkungan dan mempertimbangkan manusia lainnya.
Bukan dengan melabeli 'kalau gak gini berarti ga baik'.
Ini adalah hal yang sangat saya hindari, di titik dimana saya merasa lebih baik daripada orang lain. Dan sejujurnya setelah saya melakukan itu semua dengan raison d'etre yang masuk akal, quote di bawah ini seems relatable:
It is usually arrogance, greed and laziness that stop change - Safia Minney
Kenapa saya bersuara? Karena saya, sebagai seorang Ibu, ingin nantinya Bumi ini masih menjadi tempat yang layak dan nyaman ditinggali oleh putri saya. Itu raison d'etre yang saya punya.
Kalau teman-teman lain terganggu dengan itu, saya minta maaf. Mungkin kita belum berada di satu kapal yang sama dan belum sepakat di satu hal yang sama, meski kesamaan kita diantara banyaknya perbedaan itu satu: Sama-sama tinggal di Bumi ini, yang sedang tercemar.
Di tengah-tengah kebingungan mengemukakan opini saya ini, akhirnya ketemulah dengan twit Mba Uly Siregar yang rasanya merangkum semua concern saya selama ini...
Yes, I care about politic. Yes, I care about the environment. Yes, I care about feminism.
And I am happy with what I am doing.
Hal-hal tersebut berasal dari dalam diri, dengan dorongan dari luar, saya kembalikan lagi keluar. So, I won't mind being called SJW, meski itu konotasinya negatif dan apalah. Tapi ada juga si beberapa temen yang manggil saya dengan sebutan SJW tapi karena mereka sayang dan bercanda aja, saya tahu dan yakin mereka 0% bermaksud untuk insult atau ngeledekin saya. Dan teman-teman lain pun jangan malu dan ragu bersuara tentang apapun yang kalian anggap penting buat diri sendiri atau buat orang lain.
Kenapa saya bahas politik, karena itu akan ngaruh ke masa depan anak saya. Kenapa saya ngajak orang-orang untuk hidup berkesadaran karena hey, sudah coba belum? It feels great. And bonus, it also gives positive impacts for other people and the environment. Kenapa saya kepingin diskusi tentang perempuan lebih banyak digencarkan? Karena saya punya putri. Dia akan masuk ke masyarakat, jadi individu yang independen, dan saya ingin dia diperlakukan dan dihargai karena kepribadian dan isi kepalanya, rather than whether she wears a skirt or a pants.
Bagaimana kalo selama ini pendapat saya salah? Atau global warming cuma mitos? Atau yang saya pilih kemarin tidak deliver his promise?
Ya itu namanya hidup, it is all about choosing. Apapun yang terjadi saya janji sama diri sendiri untuk satu hal: Tidak nyesel karena bersuara. Saya yakin saya justru akan nyesal karena diam aja.
Jangan takut dibilang SJW, seperti kata yaya @yaya_nh
Comments
Post a Comment