REVIEW BUKU - The Danish Way of Parenting
Pertama kali lihat buku ini di rak "New Arrival", saya langsung tahu ini buku ada hubungannya sama negara Skandinavia dari desain sampulnya. Ternyata bener, ini buku tentag pola pengasuhan orang Denmark. Tanpa pikir panjang saya langsung beli, deh. Dan selesai dalam beberapa hari aja.
Nah ini buku terjemahan ya, dan biasanya saya tu malah pusing baca buku terjemahan apalagi kalo terjemahannya kurang bagus. Tapi buku ini lumayan lah, ga separah buku wellness yang saya beli tahun lalu yang bikin bingung banget kalimatnya. Bukannya sok Inggris, tapi beneran deh mending baca yang pake English aja tar kalo gatau satu-dua vocab tinggal buka kamus, huhu.
Ada banyak sekali hal yang bikin saya mikir "I can totally relate to this!" karena pengalaman saya yang hanya tujuh bulan tinggal di Swedia kemarin. Yaa walaupun cuma dan baru tujuh bulan tapi saya lumayan belajar banyak dari orangtua Swedia yang saya temui di daycare dan taman.
Denmark menjadi negara yang hampir selama 40 tahun berturut-turut ada di urutan atas dalam daftar negara berpenduduk paling bahagia se-dunia berdasarkan World Happiness Report by PBB dan dari OECD (Organisation for Economic Cooperation & Development). Sejak tahun 1973! Gila ga tuh. Dan selidik punya selidik, itu semua dikarenakan pola pengasuhan mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Emang ga semua pola pengasuhan buat orang satu itu bagus dan sesuai buat orang lainnya. Itu disebut dengan "parental ethnotheories" yaitu teori khas tiap kelompok budaya tentang cara pengasuhan sebagai kepercayaan mana yang benar mana yang engga. Contohnya, kalo di Indonesia makan itu harus habis dan boleh sambil digendong, sedangkan di kebanyakan negara Eropa, balita wajib makan sambil duduk, dst. Nah, ga ada salahnya kita ambil yang baik-baik dan mengaplikasikannya ke pola pengasuhan kita.
Pada dasarnya, prinsip parenting mereka disingkat sebagai "PARENT".
- Play (Bermain)
Bagian 'Play' ini meyakinkan saya untuk ga buru-buru masukin Alya ke sekolah. Secara saya sering baca kalo fase sekolah itu akan panjang, dan makin dini anak mulai makin gampang bosen dianya. Nah awalnya ni saya ragu-ragu, gimana nanti kalo Alya perkembangannya telat dibanding temen-temennya yang udah duluan mulai sekolah? Yang udah bisa Bahasa Inggris kek, udah bisa berhitung kek. Kenyataannya, kemampuan itu dalam satu waktu bakalan sama juga sama yang lain, justru yang udah dipaksa dari kecil dan ga dibiarin main sesuai keinginannya sendiri, malah rentan menunjukkan stress saat udah dewasa. Jadi, selama saya masih bisa nemenin dia main di rumah kayaknya saya juga ga pengen masukin dia sekolah dulu. Tapi lain cerita kalo saya tiba-tiba harus sekolah lagi ya :p Mungkin saya akan pilih dia di daycare daripada diasuh ART di rumah.
Dalam bagian ini juga dibahas pentingya solo playing, yaitu membiarkan anak main tanpa intervensi dari orang dewasa di sekitarnya. Dan mereka banyak bahas keutamaan bermain anak yang minim larangan, kadang kita suka denger kan kalo anak lagi main di playground gitu dikit-dikit dilarang. No ini, no itu. Sebenernya biarin aja, asal ga membahayakan banget. Anak justru jadi belajar sendiri, dan dia jadi paham atas pengalamannya sendiri.
- Authenticity
Authenticity atau autentisitas. Nah bagian ini saya rasa yang perlu saya pelajari banget. Pada umumnya, kita harus membiarkan anak mengenali dan menerima semua emosi sejak dini, bahkan yang paling sulit sekalipun. Meskipun saya udah ga lagi bereaksi berlebihan kalo Alya jatuh apa kejedug, saya masih suka console dengan "Ga papa ya dek... It is okay, ga sakit kan..." Which sebenernya kurang baik, karena pemolesan perasaan negatif (sedih, sakit, marah) ga membuat mereka terbiasa dengan kenyataan dan ga terbiasa mengatur strategi untuk semua masalah. Hasilnya? Waktu gede mereka rentan kena stress saat ada masalah, karena ga tau cara menghadapinya dan ga terbiasa sama perasaan ga enak itu.
Bagian ini juga menjelaskan bagaimana pujian dilontarkan oleh orangtua Denmark, agar mengembangkan growth mindset instead of fixed mindset. Anak ga dikit-dikit dipuji 'pinter! Good Job!' tapi selalu diajak diskusi dan dipuji karena USAHA, bukan bawaannya. Jadi mengubah bahasa pujian dari:
"Pinter anak bunda, makannya habis!"
Menjadi:
"Wah Bunda bangga, Alya berusaha menghabiskan makanannya!"
dst.
- Reframing
Bagian ini mengajak kita untuk menjadi orangtua yang Optimis Realistis, yaitu menyaring info negatif yang tidak perlu di sekitar kita. Saya ga dibesarkan dengan menjadi selalu positif, makanya bagian ini pun harus saya latih. Orang Denmark terbiasa selalu melihat sesuatu from the bright side, sehingga memunculkan personaliti yang positif meskipun ga selalu bubbly. Mereka juga terlatih memisahkan pribadi dengan sebuah masalah, juga orang dengan tindakan. Jadi misalnya nih, kita lihat anak yang pas kumpul-kumpul orangtuanya dia malu-malu, instead of melabeli mereka dengan 'pemalu' mereka berpikir kalau "Oh dia sedang tidak nyaman dengan lingkungan ini". Mengubah cara pandang kita akan sesuatu akan berdampak besar dengan cara kita menghadapinya, kan?
- Empathy
Empati itu kalau diartikan adalah sebuah kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan orang lain, trying to walk on their shoe. Menurut Daniel Siegel dari UCLA, Empati bukanlah kemewahan untuk umat manusia, melainkan keharusan. Kita bertahan bukan karena memiliki cakar atau taring, tapi karena berkomunikasi dan berkolaborasi. Jadi, memiliki empati sejak kecil itu penting! Kalo ga, anak akan tumbuh jadi orang yang cuek dan ga punya consideration sama sekali. Nah, mengajarkan anak empati sejak kecil itu dimulai dari ibunya. Gimana mereka belajar mencocokkan emosi dan suasana hati ibunya, sehingga penting bagi kita untuk melakukan kontak mata, ekspresi wajah, dan nada suara. Itulah kenapa buku emosi buat bayi dan balita itu jamak kita temui, ya kan?
- No Ultimatum
"Alya kalo pipis di toilet ya, kalo engga nanti bubu repot lho"
"Alya makannya dihabisin ya, kalo engga nanti kasian bubu udah masak lho"
Memberikan ultimatum seperti ini, tanpa kita sadari, adalah hal yang kurang baik. Apalagi kalo sampai main fisik, aduhh, jangan deh. Jangan sampai kita jadi orangtua yang otoriter: memiliki kendali tinggi tapi respons rendah. Anak-anak jadi didorong untuk melakukan hanya apa yang diperintah, tanpa tahu alasannya. Hasilnya? Mereka bisa jadi pemberontak di kemudian hari. Atau mereka selalu menata emosi sendiri, terlalu tertutup dan rentan depresi.
Cobaan (ceilah cobaan) saat anak kita melalui beberapa fase itu seringnya cuma sementara. Seperti Alya, ada masanya dia ga mau makan. Ada masanya dia ga mau mandi sore. Nah sekarang dia masuk ke fase Terrible Twos, yang bikin ngelus dada karena dia lagi nguji kesabaran Bundanya. Bahkan istilah Terrible Twos ini di Denmark menjadi Trodsalder atau usia ambang batas. Mereka sedang mendorong ambang batas, dan hal itu harus disambut dengan baik karena completely normal. Walaupun rasanya gedeg juga tiap dikit-dikit diajakin ini itu dia pasti langsung jawab: GAK MAU!, tapi yakinlah these too shall pass :)
- Togetherness & Hygge
Kebersamaan menjadi prediktor teratas dari kualitas kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Sedangkan konsep 'Hygge' (dibaca: Huga) sendiri udah banyak yang bahas karena sempet ngetrend tahun lalu, yaitu menikmati kenyamanan bersama-sama, mengesampingkan diri sendiri demi manfaat keseluruhan. Menjadi keluarga yang hangat dan memiliki quality time bersama-sama mengajarkan pada anak kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta bagaimana cara agar dia dapat berguna dan membantu sekitar. Kalau anak kita tahu mereka punya orang yang bisa diajak bicara dan dimintai tolong saat waktu sulit, mereka bisa lebih siap menghadapi tantangan hidup tanpa tumbang. Khusus yang terakhir ini, The Hafidzs udah sering melakukannya di hari Minggu, dengan judul: Gabut bersama. haha!
Sekian rangkuman saya setelah menbaca buku ini. Tekad baru untuk membesarkan anak yang tangguh agar siap menghadapi kerasnya dunia. Bismillah! Semangat Ayah Bunda semuanya :)
Semoga bermanfaat.
Woa makasih reviewnya mba, kemarin baru beli, tfs lho. Salam kenal ya
ReplyDelete