Swedish Things I Still Want to Continue Doing in Indonesia
Hi! Sorry for the long absence! Alhamdulillah awal bulan November kemaren kami sekeluarga sampai di Indonesia dengan selamat... Perjalanan dan persiapan pulang kemaren akan saya ceritakan dalam postingan terpisah, Insyaa Allah.
Setelah lebih dari 2 minggu di rumah, saya mulai merindukan Malmö. Lebay sii, tapi bener lho saya ngerasain itu hha. Sebelum pulang, saya sempat cerita-cerita sama ibu-ibu Indonesia di Malmö, yaitu Mba Ikma dan Mba Rida, tentang kebiasaan baik di sana yang tetap ingin kami lakukan di Indonesia. Di bawah ini hasil bincang-bincang kami sore itu, dan beberapa poin tambahan dari saya.
- Belanja seperlunya, bawa tas belanjaan sendiri, dan mengurangi kantong plastik
Beberapa retail belanja di Indonesia sudah mulai menerapkan ini, kan. Tapi masih banyak yang belum disiplin menagih Rp200,- untuk setiap kantong belanjaan, padahal peraturannya udah keluar hampir 2 tahun yang lalu. Nah, membiasakan bawa kantong belanja sendiri menurut saya sangat baik untuk mengurangi penggunaan plastik. Di Swedia dan beberapa negara Eropa yang kami kunjungi saat traveling, disiplin sekali dalam penggunaan kantong plastik ini. Ga cuma di groceries store, tapi juga di toko baju/ kosmetik. Mereka selalu tanya "Do you need a bag?" sebelum memasukkan belanjaan kita ke kantong plastik. Jadi, lebih prefer untuk masukin belanjaan ke handbag kita sendiri. Kalau butuh kantong plastik mereka selalu charge sekitar Rp3000 setiap tasnya. Mahal kan ya? tapi efektif banget untuk bikin orang sadar. Saat di Swiss bahkan mereka ga nawarin kantung belanjaan sama sekali. Saat itu, saya yang beli susu Alyaka di apoteket sempet nanya "Do you have a bag?" dan kasirnya, seorang wanita paruh baya, malah bilang "Honey, you should bring it yourself because we don't have it", NAH LOH! Jadilah terpaksa saya bawa-bawa susu, diaper dan minyak telon pake dua tangan, haha. Kalau sedang bawa stroller, saya sering mengalihfungsikan bagian bawahnya sebagai trolley belanjaan. Jadi setiap belanja mingguan, saya taruh barang yang berat seperti susu, gula, telur di bagian bawah stroller dan barang ringan seperti sayur-sayuran di kotak handle-nya. Dan itu jamak sekali dilakukan orangtua di Swedia.
Satu lagi, saya baru ngeh kalo customer di Indonesia tu bener-bener treated like a King/ Queen. Tiap belanja, kasir selalu multitasking ngescan sambil masukin ke kantong, kan? Di sini boro-boro, kasir cuma scan dan menerima pembayaran. Barang yang udah discan harus kita sendiri yang masukin ke tas/ stroller/ trolley belanja pribadi. Bener-bener efektif dan efisien (buat mereka :p).
- Lebih sering jalan kemana-mana semisal masih dalam walking distance
Sehari di Indonesia, saat masih jetlag dan bangun sore, saya, suami dan Alyaka pengen muter-muter Solo jalan kaki. Rute kami saat itu keluar Laweyan, lalu ke Sriwedari makan Sate Kambing Pak Manto yang telah dirindukan itu, terus ke toko majalah ABC di Gladag, muter Superindo, dan pulang ke rumah naik becak. Capek? Iya pasti, bukan karena jauh, tapi karena sulit jadi pedestrian di sini. Trotoar buat parkir motor, kadang jalan gede trotoarnya buat pedagang kaki lima. Alhasil kami jalan di jalan raya, yang ga aman sama sekali juga. Tapi itu juga berarti, kita masih bisa jalan kaki di kota ini, lho. Meskipun kalau pas panas ya bisa jadi pepes juga.
- Naik transportasi publik
Setelah away selama 6 bulan, mobil saya otomatis jarang dipake dan diservis. Akhirnya saya masukin ke bengkel. Pas mikir mau pulang ke rumah naik apa, saya memutuskan buat naik bus! Dan sebenernya seru sih, hemat juga, hanya dengan Rp2000,- saya bisa naik dari penumping ke Laweyan. Jangan dibayangin busnya berhenti di halte ya, bis seperti NUSA gitu-gitu berhenti by demand. Haha. Dan saya tekad banget kalo masih ada public transport untuk ke tempat tujuan saat ga bawa barang banyak/ ribet, I will definitely use it.
- Tertib antre, sabar menunggu lampu lalu-lintas, Ngalah ke pejalan kaki/ pegowes sepeda
Budaya antre di Indonesia ni sepertinya masih susah sekali ya ditemukan sehari-hari. Orang seperti takut ga dapet jatah/ susah kalo ga duluan. Kenapa ya? Saya keinget kepala sekolah ESMOD saya, seorang Prancis, posting di facebook beliau tentang betapa lucunya orang kita buru-buru berdiri dan menenggelamkan diri berdesak-desakan saat mau turun dari pesawat. Kaya bakal ditinggal aja, lho?! Seminggu di Indonesia kemaren, kami juga datang ke acara nikahan teman SMP saya, putri Presiden RI saat ini. Dan lucunya, semua orang tampak ga sabar mau masuk sampe aksi dorong-dorongan pun terjadi. Ga peduli orangtua, bawa anak, semua sama rata kena dorong. Padahal, kalo mau tertib, proses masuk pasti kan lebih rapi dan otomatis lebih cepet. Namanya juga nikahan anak presiden, pengamanan kan perlu ekstra. Body check, invitation check, semua perlu dicek. Huff.
Ga cuma antre, di jalan raya pun kita sering nemu pengemudi yang ga sabaran. Lampu belom hijau udah ngegas, ga mau ngalah sama yang lagi belok, dsb. Di Swedia, hierarki penguasa jalan dimulai dari pesepeda. Karena apa? Ngeremnya ribet, lol. Yang kedua pejalan kaki, dan yang ketiga kendaraan bermotor. Jadi, mobil/ motor harus ngalah ke pejalan kaki yang harus ngalah ke pesepeda. Semua orang tertib sekali, karena semua serba ter-record. Saya diceritain sama Mba Nana, Diaspora Indonesia yang tinggal di Sjöbo, bahwa kalau ketauan melanggar lalu lintas/ ga ngalah sama pejalan kaki, bisa-bisa akhir bulan ada tagihan denda yang dikirim ke rumah! Ga cuma denda, mereka melampirkan bukti pelanggaran berupa foto dari surveillance camera di jalan raya. Betapa efektifnya single ID, hanya dengan identifikasi plat nomer, kelakuan kita di ruang publik bener-bener harus dipertanggungjawabkan. Di Indonesia, single ID masih jadi angan-angan. e-KTP aja dikorupsi. Tersangkanya licin banget kaya belut haha...
- Ke taman/ museum/ berkunjung silaturahim instead of pergi ke Mall
Pengeluaran bulanan saya di Swedia, meskipun semua serba mahal, jauh lebih sedikit daripada pengeluaran saya di Indonesia. Setelah saya pikir-pikir, saya tu boros banget beli barang yang ga saya butuhkan kalo pergi ke Mall. Sampe sana, window shopping bisa berujung purchasing, karena barang yang ga dibutuhkan tiba-tiba harus dipunyai. Jadilah sekarang saya kepingin banget ngurangi kunjungan ke mall kalo ga butuh-butuh banget.
Dan unuk mengisi weekend, saya pengen ngelanjutin kebiasaan baik di sana, yaitu dengan mengunjungi museum, taman, atau berkunjung ke rumah sahabat. Selain lebih murah, juga sarat manfaat. Semoga bisa, Aamiin.
- Bawa botol minum sendiri dan tempat makan untuk bungkus makanan saat di resto
Kebiasaan bawa botol minum di Swedia, dimulai dari mahalnya sebotol still water/ mineral water di sana. Padahal, air keran saja bisa di minum kalau di rumah. Jadi saya sering kemana-mana bawa botol minum sendiri. Tempat makan/ kontainer makan juga sebaiknya dibawa agar saat kita makan di resto, kita bisa pakai tempat makan sendiri untuk bungkus. Mengurangi penggunaan styreofoam juga, kan.
- Lebih banyak makan homemade, spend more time masak sendiri
Yang ini juga kepingin sekali saya lanjutkan! Meskipun order makanan serba dimudahkan dengan go-food, kalau ada waktu saya pengen mengutamakan masak sendiri. Bahan-bahan kita olah sendiri, pakai apa aja kita tahu, dan bisa diadjust sesuai kebutuhan.
- Menghormati orang lain dengan mengurangi pertanyaan pribadi
Hidup dengan banyak teman dari banyak negara, membuat saya jadi terbiasa ga nanya pertanyaan pribadi ke mereka, karena itu ga sopan. Simply because it's none of our business. Kenapa ga shalat Jumat, padahal muslim? Kenapa lebih sering tidur di kamar pacarnya? Kenapa ga ikut Shalat Ied? Ko ga puasa sih? Anaknya ASI, ga? Ko anaknya kurus, sih? Kursi di bus banyak yang kosong ko duduknya pangku, LOL. Kecuali mereka sendiri yang cerita, atau kami deket banget, atau berpotensi mengganggu kehidupan kita atau kehidupannya, saya membiasakan diri untuk ga tanya. Bahkan di Swedia, bilang "Oh anaknya kecil ya padahal udah 20 bulan" itu ga sopan. Kadang kalo mereka tanya Alyaka berapa bulan dan saya jawab tjugo monader (20 bulan), saya nangkep sebersit pandangan "Lah kecil ya", terus mereka biasanya melanjutkan dengan basa basi "Aah she's so cute". Biasanya saya terus cerita sendiri, gimana Alyaka kalau BB-nya diukur pake chart Sweden emang di bawah rata-rata, tapi normal kalo di chart Indonesia. Dan small talk gini biasanya berlanjut ke sharing lain yang bermanfaat dan hangat.
- Menjual/ beli barang second
Ekologisk, eco-friendly, sustainability, itu jadi cara hidup yang diterapkan di keseharian hidup orang Swedia. Menjual dan membeli barang second mengurangi jumlah carbon footprints secara signifikan. Makanya, toko-toko secondhand seperti Emmaus, pasar Minggu Drottning, itu selalu ramai orang. Reduce, Reuse, Recycle ga cuma jadi teori tapi bener-bener diterapkan. Di Indonesia, saya harap garage sale atau secondhand stuff itu bakal lebih banyak, masih baik, dan lebih bagus. Kalau butuh sesuatu, bisa cek dulu barang preloved dari orang lain. Pastikan kualitasnya masih baik.
- Merapikan meja makan saat makan di luar
Di negara berkembang, merapikan meja dan mengembalikan tray makan saat di resto/ foodcourt masih sangat jarang ditemui, ya. Di negara maju, selesai makan kita merapikan sendiri meja bekas kita gunakan dan mengembalikan piring, gelas, cutlery di dalam tray makan ke tray box yang bentuknya bersusun, biasanya ada di pojok restoran. Nah, saya ingin melanjutkan melakukan ini di Indonesia. Sempet berpikir kalau buat apa, kan ada waiter yang emang udah dibayar buat melakukan itu. Tapi, menjadi rapi dan hidup efisien harus selalu dimulai dari hal kecil, kan?
Comments
Post a Comment